Presidensi G20, Untuk Kepentingan Siapa?

G20 Indonesia 2022
Jabar News | Majalengka - kekhawatiran di puncak acara KTT G20 ketika komunike dari para kepala negara tidak tercapai. Ketua Bidang Dukungan Penyelenggaraan Acara G20, Luhut tak mau ambil pusing. Menurutnya, mencapai komunike atau tidak, G20 di bawah kepemimpinan Indonesia sudah menghasilkan banyak kesepakatan di berbagai bidang. Dampaknya kepada ekonomi RI sangatlah besar.
”Kalau pada akhirnya tidak mencapai leaders communique, tidak apa-apa. Banyak hal yang sudah kami hasilkan, bahkan kalau dihitung dari sisi ekonomi sudah mencapai miliaran dolar AS,” jelasnya. (Sebagaimana dikutip media, 13/11/2022)
Forum G-20 bersifat elitis yang dihadiri negara-negara maju sehingga hanya membahas kepentingan-kepentingan mereka namun luput membahas persoalan di negara berkembang dan negara miskin. Masalah kesenjangan, kemiskinan, pengangguran, terutama di negara miskin tidak mendapat pembahasan yang memadai.
Persoalan yang dihadapi Indonesia sendiri saat ini adalah tingginya kemiskinan. Jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2022 adalah 26,16 juta jiwa. Tingkat kemiskinan Indonesia pada bulan yang sama sebesar 9,54 persen.
Hal ini sebagai kegagalan sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Pengadopsian ekonomi kapitalisme telah menjalar juga di negeri-negeri muslim. Ketimpangan ekonomi dan sosial telah begitu nampak dirasakan.
Padahal, Indonesia bisa menjadi negara hebat dengan kekayaan sumber daya alamnya. Namun, faktanya saat ini SDA dikuasai oleh korporasi asing. Negara hanya sebatas regulator dan menjadikan rakyatnya target market kapitalisme global.
Untuk menutupi kekurangan APBN, utang luar negeri dengan bunga ribanya dianggap darah segar. Padahal Kapitalisme telah sukses memiskinkan negeri-negeri kaum muslim. Wajar jika akhirnya kemiskinan sistemik identik dengan sistem kapitalistik ini.
G-20 disinyalir tidak mampu memformulasikan kerangka ekonomi yang solid, kuat, antikrisis, berkelanjutan, dan seimbang. Berbagai krisis yang terjadi diakibatkan oleh kelemahan sistem ekonomi kapitalisme yang dianutnya.
Ketika pandemi Covid-19 yang membutuhkan biaya besar dan bersifat segera, G-20 tidak dapat bergerak dengan urgensi esensial, apalagi untuk tantangan yang lebih jauh, seperti kebutuhan yang besar terhadap perubahan perilaku dan kerja sama yang dibutuhkan.
Keberpihakan hanya kepada pemilik modal di sektor keuangan secara khusus dan negara-negara besar, serta kurang mampu mengadopsi kepentingan negara berkembang dan pihak-pihak yang tersisih akibat globalisasi, seperti vaksin untuk negara-negara maju dan melakukan konsolidasi fiskal.
More and better jobs hanya menjadi slogan G-20 tanpa ada realisasi untuk mewujudkan hal tersebut. G-20 kadang hanya menjadi lip service, bersepakat pada hal-hal baik, tetapi pada pelaksanaannya melakukan hal-hal buruk.
G-20 diduga kuat gagal dalam mereformasi international financial institutions (seperti IMF dan World Bank) yang cenderung bias demi kepentingan negara-negara maju, khususnya AS dan Uni Eropa.
Lalu ketika IMF memberikan bantuan kepada negara yang mengalami krisis (biasanya negara miskin atau negara berkembang), syarat-syarat yang diberlakukan akan dieksploitasi sedemikian rupa sehingga merugikan negara peminjam tersebut.
Penanganan untuk stabilitas sektor keuangan tidak menjadi pembahasan yang cukup mendalam. Padahal, jika mencermati berbagai krisis dan kondisi ketimpangan juga kesejahteraan, permasalahan terus terjadi di negara-negara G-20.
Sistem kapitalisme ini bukan memberikan solusi, sebaliknya melahirkan masalah. Bahkan, jika dilihat secara netral, muslim dan nonmuslim mengalami dampak bahaya dari sistem kapitalisme.
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem keuangannya berbasiskan sistem ekonomi nonriba. Dengan menghilangkan riba pada perekonomian dunia, peradaban Islam telah berhasil mewujudkan sistem ekonomi yang melejitkan produktivitas ekonomi manusia.
Kebijakan fiskalnya, yaitu dalam bentuk pemberlakuan sistem baitul malnya. Negara akan menerapkan sistem moneter dinar dan dirham dalam perdagangan internasional yang lebih aman dari inflasi dan bebas riba sehingga menghasilkan keuntungan yang riil.
Sistem Islam akan menerapkan politik dagang dan politik kemandirian industri juga pertanian yang akan mampu menguasai produk dari hulu ke hilir dan tidak tergantung dengan negara lain.
Penting bagi kaum muslimin untuk mewujudkan negara yang kuat. Satu-satunya harapan adalah dengan mewujudkan kepemimpinan Islam dan menerapkan aturan Islam secara kafah.
Auran syariat Islam kafah telah terbukti secara empiris berhasil mewujudkan tatanan ekonomi dunia yang stabil dan produktif.
Kaum Muslimin hendaknya berupaya mengopinikan Islam sebagai pemikiran menyeluruh untuk menjadi solusi perkara umat manusia, termasuk ekonomi di level global.
Wallahu a'lam bishshawab.
Editor :Muhammad Ramlan