Kisah Ismail Mati Disembelih

Penulis: Qadaruddin Fajri Adi, STP., M.Sc (Dosen STIE Hidayatullah Depok dan Direktur Pandawa Institute
“Nak, barang apa yang hendak kamu beli ?”. Tetiba, Mama saya bertanya. Random, tidak ada angin, tidak ada hujan. Usut punya usut, ujian kenaikan kelas hampir saja tiba. Pertanyaan tadi, ternyata punya tanda bintang, bersyarat. Mama menaruh remah “permen” berupa hadiah agar saya termotivasi menjadi juara di kelas. Setidaknya, masuk tiga besar. “Permen” itu bertuah. Saya lebih termotivasi belajar. Ada iming-iming hadiah di depan mata. Meskipun bukan tujuan utama, toh, akhirnya saya juga peringkat tiga di kelas. Meskipun, hati kecil saya agak terusik. Waktu itu, saya belum bisa mengenali maksud terselubung daripada iming-iming hadiah tersebut. Begitulah pengalaman akademik saya semasa SD, kelas I, Catur Wulan I.
Belakangan, seiring masa, saya akhirnya menyadari bahwa iming-iming hadiah tersebut bukanlah tujuan melainkan rute yang terkondisikan agar saya lebih mudah sampai kepada destinasi hidup, selamat di dunia, selamat di akhirat. Bahwa belajar bukanlah untuk mendapat hadiah, melainkan bagian dari perjalanan membentuk jati diri. Sebagai pribadi, anak, orang tua serta bagian dari kehidupan sosial (masyarakat, bangsa dan negara). Iming-iming hadiah hanyalah cara Mama menjaga saya. Kasarannya, kalaupun hidup saya keluar jalur, sudut penyimpangan (deviasi)nya tidak terlampau besar. Masih on the track.
Pun, ibadah transenden (mahdhah), sarat dengan iming-iming hadiah. Dalam khazanah keyakinan Islam, “permen” tersebut bernama pahala, dengan segala macam bentuk dan variannya. Muara dari pahala tersebut adalah surga (terminal akhir buntelan pahala yang terkumpul). Pertanyaannya, benarkah deposito pahala yang mengantar kita ke surga?
Seorang sufi masyhur telah memberi teladan kepada kita terkait rahmat Tuhan sebagai penentu ibadah, bukan pahala. Adalah Rabi’ah al-Adawiyah yang pada suatu siang, berjalan di Kota Baghdad sambil menenteng air dan memegangi obor di tangan kirinya. Seseorang pun bertanya kepada beliau hendak dikemanakan air dan obor tersebut?
Rabiah al-Adawiyah pun menjawab: “Aku hendak membakar surga dengan obor dan memadamkan neraka dengan air ini. Agar orang tidak lagi mengharapkan surga dan menakutkan neraka dalam ibadahnya.”
Dari Rabi’ah al-Adawiyah kita belajar. Pintu surga terbuka karena rahmat (kasih sayang Tuhan). Buntelan pahala hanyalah cara meyakinkan Tuhan, bukti kesungguhan kita. Mirip dengan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK pada sisi yang berbeda. Penentunya bukan jawaban pegawai yang dites, melainkan keputusan Tim Penilai. Bedanya, Tim Penilai tidak punya garansi keadilan sebagaimana Tuhan. Keadilan Tuhan bersifat mutlak.
Dalam ibadah puasa, pahala muncul dengan berbagai varian. Misalnya, untuk puasa Ramadan, iming-iming pahalanya infinite (tak terbatas), Tuhan sendiri yang menilai. Suka-suka Tuhan. Yang mana, biasanya, setiap amalan dikali sepuluh atau tujuh ratus.
Lengkap haditsnya seperti ini, Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151).
Di hadits lain, untuk puasa varian lain, puasa Arafah, ganjaran pahalanya lain lagi. Dari Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “…puasa hari arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya..” (HR. Muslim).
Di hadits ini, Nabi tidak menyejajarkan puasa Arafah dengan puasa Ramadan karena ada konteks di dalamnya. Setiap konteks mencirikan urgensi dan keutamaan yang berbeda. Jelas saja, secara kasat mata saja, puasa Ramadan punya intensitas yang lebih banyak (30 hari) dan kombinasi ibadah mahdah lainnya; shalat tarwih plus witir, sedekah yang diperbanyak, zakat fitrah, tilawah serta ibadah sertaan lainnya.
Meskipun demikian, puasa Arafah juga punya keutamaan lain, sesuai konteksnya, yaitu momentum idul qurban. Dasarnya, puasa merupakan pengkondisian diri (pengendalian diri). Menahan diri dari niat, pikiran, lisan dan perbuatan melampaui batas. Pada momentum idul qurban, makna puasa Arafah menjadi lebih kental dengan peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya. Poinnya ada di sini. Mirip dengan surat Asy-Syams yang dimulai dengan Tuhan bersumpah atas nama matahari dan benda-benda langit hanya untuk menekankan pentingnya menyucikan hati. Artinya, menyucikan hati lebih besar derajatnya dibanding ciptaan Tuhan yang berukuran mega dengan segala keteraturannya tersebut.
Demikian pula dengan puasa Arafah. Puasanya penting. Tapi, jauh lebih penting konteks yang melahirkannya. Puasa Arafah adalah salah satu tugu monumen agar kita belajar dari kisah Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail. Baik dalam sekup pribadi maupun sosial.
Dari ketiganya, kita belajar keihlasan dalam bentuk yang paling paripurna. Tunduknya akal dan ego keeklusifan manusia sebagai binatang yang berakal. ???? Sebuah situasi dimana akal sepenuhnya bersimpuh di hadapan keteguhan hati (iman kepada Tuhan, Allah Yang Esa, Yang Maha Esa, yang sempurna dengan keEsaanNya).
Coba bayangkan, jika jadi Ibrahim, apa yang akan kita lakukan ? hanya bermodal “bisikan” dari Tuhan, Ibrahim hendak menyembelih anaknya, Ismail. Gendeng ? Kalau patokannya, akal, jelas gendeng lah. Bagaimana dengan Ismail ? Jelas lebih gendeng lagi. Mana ada anak yang dengan riang gembira menerima permintaan Bapaknya, orang yang seharusnya melindunginya, Oke Pak, saya siap disembelih. Bagaimana dengan Siti Hajar ? Kalau yang ini jangan berani-berani bertanya. Kasih sayang ibu dibanding Bapak berkali-kali lipat. Jika mengikuti rasio semata, mungkin, Siti Hajar hanya berkata sata kalimat, “Sudah gila lu ya ?”.
Oh, iya, satu lagi, meskipun secara tersurat tidak ditonjolkan, saya perlu menyebut Siti Hajar, emaknya Ismail. Biar kaum feminis nggak naik urat lehernya. Gini lho, kata teman saya yang profesinya dokter, kecerdasan anak itu diwariskan dari ibunya. Jadi, tidak mungkin Ismail bisa rida dengan keputusan Bapaknya kalau dia bodoh. Minimal, Ismail mikir, “Nggak mungkinlah babe saya meminta ijin menyembelih saya kalau bukan perintah Tuhan”. Pemikiran seperti ini tidak mungkin muncul dari anak yang, -mohon maaf-, bodoh. Ditambah, Ibu adalah madrasah pertama seorang anak. Dari sini, peran DNA dan didikan Siti Hajar yang membentuk pribadi Ismail.
Di masyarakat saya dibesarkan, Pulau Muna, ada kalimat bijak seperti ini, “Mendidik anak itu tidak dimulai saat membesarkan anak melainkan saat memilih ibunya”. Ini juga berlaku bagi Siti Hajar. Buah jatuh tidak jauh dari pohon. Begitu kata pepatah klasik. Potret keshalihan Ismail tidak lepas dari tempaan jati diri kehidupan Siti Hajar. Siti Hajar memang kalah cantik dari Siti Sarah (bukan berarti tidak cantik, lho). Namun, kelebihan Siti Hajar adalah ketaqwaan (keikhlasan)nya. Ini yang melampaui kecantikan, garis keturunan dan harta. Tiga terakhir itu bukan berarti tidak dipertimbangkan, melainkan menunjukkan skala prioritasnya.
Tempaan ketakwaan Siti Hajar yang paling monumental adalah saat “dibuang” bersama Ismail yang masih bayi. Di padang tandus dengan minim persediaan. Kelak, ikhtiar Siti Hajar mencari air untuk anaknya yang kehausan, diabadikan sebagai bagian dari rukun haji, sa’i, berjalan dan berlari-lari kecil dari Safa ke Marwah, tujuh kali bolak-balik. Luar biasa bukan ? Harga dari keteguhan iman dan keikhlasan memang mahal namun setimpal dengan perolehan baliknya (kemuliaan dan keselamatan hidup). Di titik ini, iming-iming pahala laiknya nilai sampling error dalam penelitian. Kecil sekali.
Dalam konteks sosial, kurban punya makna yang lebih radikal. Sebelum era Ibrahim, persembahan kepada Tuhan atas keputusasaan manusia, adalah dengan mengalirkan darah dari leher manusia sebagai ganti. Perintah Tuhan kepada Ibrahim adalah sebuah tes (ujian) untuk menasakh (mengganti) image Tuhan yang dipahami sadis, meminta darah manusia untuk kelangsungan darah manusia lainnya dengan darah hewan.
Apakah darah hewan yang ditumpahkan adalah bentuk kesadisan ? Sebaliknya, alih-alih sadis, andai bisa bicara, unta atau domba atau kambing atau sapi atau kerbau yang dikurbankan, akan berterima kasih kepada manusia. Pertama, darah hewan kurban mengakhiri siklus persembahan darah manusia. Kedua, tidak seperti jasad manusia yang dibuang begitu saja pasca dikurbankan, daging hewan justru dikonsumsi dan kulitnya bisa dimanfaatkan. Ketiga, hewan yang disembelih adalah pejantan. Kelangsungan hidup hewan kurban tidak akan terganggu karena penyembelihan yang berlangsung secara masif di seluruh dunia. Keempat, titik penyembelihan di area leher, jalur pembuluh darah terbesar dan menggunakan parang/pedang yang tajam. Dengan demikian, rasa sakit yang dialami hewan berlangsung cepat. Jauh dari gambaran sadis.
Dalam konteks ekonomi, momentum kurban setahun sekali bisa menjadi pemicu kebuntuan aliran ekonomi yang terkumpul (terakumulasi) di kelompok masyarakat ekonomi menengah atas ke kelompok ekonomi bawah. Apalagi, di tengah koefisien gini (ketimpangan ekonomi) kita yang justru meningkat kurun waktu 20 tahun terakhir. Momentum kurban juga bisa menjadi pengingat bahwa watak ekonomi kita justru jauh dari nilai-nilai keadilan sosial. Bahwa dalam silkus ekonomi kapitalistik ribawi, golongan orang yang berkurban justru melahirkan golongan penerima kurban. Paradoks ekonomi. Sehingga, kurban yang dimaksudkan memotivasi penerima kurban agar bisa menjadi shahibul kurban justru menjadi terhambat.
Terakhir, dalam konteks menjalani era pagebluk, banyak hikmah yang bisa kita tarik dari momentum idul qurban. Pertama, kita sudah dapat pelajaran penting dari nafsu penyepelean, penggampangan awal-awal Covid-19 masuk Indonesia. Dari situ kita belajar bahwa, saat dilakukan oleh penguasa, dampak kerusakan berantainya luar biasa, terutama korban manusia dan kontraksi ekonomi yang kencang. Nafsu seperti ini yang harusnya dialirkan. Nafsu kebinatangan, nafsu yang melampaui batas, dilepaskan dari watak kekuasaan.
Kedua, teruntuk para Nakes dan relawan di garis depan dan gugur, alfatihah untuk mereka. Setidaknya, mereka telah membuktikan keikhlasan secara paripurna. Laku kurban dalam arti yang sebenarnya. Mereka adalah potret Ibrahim-Ismail-Siti Hajar untuk konteks kekinian dan kedisinian.
Ketiga, kepada segenap rakyat yang sedang berjuang melewati pandemi, menghidupi keluarga simultan menghindari terjangkit Covid-19, kita berada di badai yang sama meskipun berbeda perahu. Idul qurban bisa jadi momentum bagi kita untuk kembali menemukan hakikat kemanusiaan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, saat penderitaan hebat setara pandemi menghampiri, kita bisa berada dalam perahu yang sama.
Bahwa gotong royong yang merupakan DNA asli manusia, kita ganti dengan spirit kompetisi dalam membangun ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Nafsu kebinatangan ini yang mestinya kita sucikan dari DNA kita bersamaan dengan mengalirnya darah hewan kurban. Menyingkirkannya dari sistem peradaban kita. Kembali kepada peradaban Pancasila, peradaban Ketuhanan Yang Maha Esa.
Editor :Tim Sigapnews
Source : Admin