Marak Poliandri, Kenapa Bisa Terjadi?

Kalangan feminis juga membuat propaganda sebagai tandingan dari poligami, yakni poliandri. Mereka menuntut, jika laki-laki boleh beristri lebih dari satu, mengapa perempuan tidak boleh bersuami lebih dari satu? Sungguh pemikiran ini lahir dari kaum liberal.
Maraknya praktek poliandri ini juga tidak bisa dilepaskan dari diadopsinya paham sekularisme yang memisahkan agama dalam tatanan kehidupan termasuk dalam pernikahan. Hal ini marak terjadi di tengah merosotnya kegagalan berpikir masyarakat memahami syariat yang benar. Inilah cermin kegagalan sistem kapitalisme-sekuler.
Padahal, di dalam Islam poliandri tegas dilarang. Dalam QS. An-Nisa ; 24 Allah SWT telah berfirman:
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kami miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.”
Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam (an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam Beirut: Darul Ummah, 2003) hal. 119: “Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraair), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz V/134).
Imam Asy-Syafi’i menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, “Wanita-wanita yang bersuami (baik wanita merdeka atau budak) diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya)… (Imam Asy-Syafi’i, Ahkamul Quran, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, Juz I/184).
Adapun dalil as-Sunnah yang melarang poliandri adalah hadist Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh kedua orang wali, maka (pernikahan yang sah) wanita itu adalah bagi (wali) yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Berdasarkan dalalatul iqtidha’, yaitu makna yang tidak terucap dalam lafal teks ayat atau hadits, namun merupakan keharusan makna yang mesti ada agar makna-makna lafal itu bernilai benar, baik bernilai benar karena tuntutan akal maupun tuntutan syara’, hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidak sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Makna dalalah ini yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami merupakan makna yang dituntut (iqtidha) dari manthuq hadits, agar makna manthuq itu benar secara syara’. Maka dalalatul iqtidha hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.
Read more info "Marak Poliandri, Kenapa Bisa Terjadi?" on the next page :
Editor :Yefrizal