Urgensi Evaluasi Mitigasi Kebencanaan
Mitigasi Terintegrasi Memadukan Ilmu Dunia dan Ilmu Langit

Ilustrasi bencana (bincang syariah.com)
Jabarnews - Negeri ini terhentak, bergetar seriring goncangan gempa bumi berkekuatan 5.6 Mw dengan kedalaman 10 km yang terjadi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Indonesia pada 21 November 2022 pukul 13.21 WIB. Gempa ini dirasakan hingga Bandung, DKI Jakarta, Tangerang, Rangkasbitung, dan Lampung.
Tak cukup sampai disitu, ternyata gempa susulanpun seringkali terjadi bahkan hingga tulisan ini buat. Hingga hari Kamis, 24 November 2022, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan total keseluruhan korban meninggal akibat bencana gempa Cianjur menjadi 272 korban jiwa. Hal ini cukup menjadi kekhawatiran dan ketakutan diantara masyarakat di Jawa barat terlebih dengan adanya hasil penelitian BNPB bahwa akan terjadi gempa megathrust di Selatan Jawa yang diperkirakan terjadi setiap 400 tahun dengan Magnitudo (M) 8.8. (cnnindonesia, 14 November 2022).
Berkaca dari banyaknya bencana dan perkiraan akan terjadinya gempa megathrust, belum lagi setiap bencana selalu menelan korban yang tak bisa dibilang sedikit, seharusnya hal ini sudah cukup menjadi objek pemikiran dan perhatian pemerintah untuk melakukan mitigasi terintegrasi, memadukan ilmu dunia dan ilmu langit (Dinnullah).
Namun hari ini, mitigasi yang dilakukan pemerintah bahkan tak efektif, dan tidak berpengaruh sedikitpun. Sebagai contoh, pemerintah menggalakan mitigasi berbasis kearifan lokal, salah satu yang paling terkenal adalah kearifan lokal dalam menghadapi gempa bumi yang di pertahankan oleh Suku Baduy.
Dalam menghadapi bencana gempa bumi, masyarakat Baduy menyiasatinya dengan membuat aturan adat atau pikukuh dan larangan dalam membangun rumah. Dalam hal ini, bahan bangunan yang digunakan adalah bahan-bahan yang lentur, seperti bambu, ijuk, dan kiray supaya rumah tidak mudah rusak. Rumah juga tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah.
Disisi lain, dapat kita lihat bahwa pembangunan infrastruktur baik infrastruktur fisik seperti tol dan kereta api; infrastruktur keras non fisik yang berkaitan dengan fungsi utilitas umum, seperti penyediaan air bersih, energi, jaringan internet; dan infrastruktur lunak yang meliputi nilai atau etos kerja, norma-norma yang sudah dikodifikasi; ketiga hal ini menjadi prioritas.
Pembangunan dimana-mana, penanaman nilai-nilai sekuler-liberal terus diaruskan melalui proyek global moderasi beragama. Di alam Kapitalisme hal ini dilegitimasi karena standar dari sistem ini adalah manfaat, dapat menghasilkan profit.
Sehingga jika sesuatu dipandang tidak dapat menghasilkan keuntungan berupa materi maka dianggap tidak layak dan tidak dipentingkan. Begitupun dengan mitigasi bencana, sistem Kapitalisme memandang bahwa dalam mitigasi tak banyak profit yang bisa raih sehingga alih-alih diperhatikan justru Kapitalisme banyak membangun kantong-kantong uang mereka di daerah rawan bencana, memanfaatkan keindahan alam dan letak yang strategis padahal itu adalah daerah rawan bencana. Seperti pembangunan tempat wisata Waterboom di atas Sesar Lembang kawasan Desa Pagerwangi.
Bukankah wilayah sesar Lembang seharusnya sudah mulai diantisipasi mengingat ada peringatan dari BMKG terkait aktifnya sesar ini?
Lantas kenapa dibangun tempat wisata?
Read more info "Mitigasi Terintegrasi Memadukan Ilmu Dunia dan Ilmu Langit" on the next page :
Editor :Muhammad Ramlan